Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Dalam debat Cawapres tadi malam (22/12), Gibran Rakabuming Raka menyebut bahwa sektor UMKM ( Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang dicapai pemerintah Jokowi ayahnya sebagai kebangaan karena berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 63 persen dan meliputi 64 juta pelaku usaha.
Jika diperiksa lebih mendalam, menurut klaspomologi yang dilakukan Kementerian Koperasi Dan UKM, dari jumlah UMKM sebanyak 64 juta itu, usaha mikro sendiri adalah 99,6 persen dari total jumlah pelaku usaha kita. Usaha kecilnya hanya sebanyak 138 ribu atau 0,35 persen dari total pelaku usaha kita. Sementara usaha menengah adalah hanya sebesar 80.245 atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen dari total pelaku usaha yang ada.
Kontribusi Usaha Mikro dan Kecil 99,9 persen itu sesungguhnya kurang lebih hanyalah 18 persen. Sisanya 82 persen ternyata dikuasai oleh usaha besar dan usaha menengah yang kebanyakan adalah perluasan perusahaan besar. Jadi, 99,6 persen atau 64 juta pelaku usaha kita yang dibanggakan Cawapres Gibran itu adalah kelas gurem.
Secara struktural, ekonomi dualisme yang berlaku di jaman kolonial Belanda sampai hari ini masih dilanggengkan oleh pemerintah Jokowi. Pelaku usaha kita paling dominan terdiri dari lapisan pelaku ekonomi rakyat banyak dalam skala mikro kecil yang bergerak di sektor pertanian dan perdagangan serta jasa kelas gurem dan segelintir pelaku ekonomi modern di sektor industri, perdagangan, perkebunan, pertambangan dan jasa.
Ekonomi kita secara agregat menjadi semakin konsentratif dan membentuk pasar yang mendekati oligopolistik. Bahkan, dalam berbagai segmen industri mendekati pola pasar duopolistik atau hanya terdiri dari dua pemain besar sebagai pengendali harga. Sementara itu, ekonomi rakyat banyak yang bergerak di lapis segmen kelas bawah bersaing berdarah-darah dengan nilai tambah yang semakin kecil karena penetrasi usaha besar di segmen ekonomi yang selama ini dikuasai oleh usaha rakyat banyak. Sebut, misalnya, merangsek masuknya usaha jaringan ritel yang semakin masif tak terkendali dan melanggar regulasi.
Dalam era digital ekonomi hari ini bahkan ekonomi usaha besar dengan kekuatan investasi modal besarnya di sektor penguasaan bisnis basis platform mulai masuk menguasai usaha ekonomi skala mikro dan kecil. Penetrasi produk pabrikan dan terutama yang diproduksi dalam skala besar dan disesuaikan dengan pola selera konsumen yang dibaca dengan teknologi artifisial intelijen semakin memperpuruk sektor industri rakyat. Mereka dibiarkan liar oleh pemerintah dengan memberikan regulasi longgar yang hanya untungkan usaha besar pemilik bisnis basis platform.
Usaha ekonomi rakyat menjadi semakin termarjinalisasi dan motivasi pendiriannya lebih muncul karena negara tak sanggup menciptakan pekerjaan layak bagi mereka, ketimbang sebagai pilihan utama. Mereka semakin tersingkir dan menjadi subordinat usaha skala besar sebagai reseller atau mitra bisnis palsu yang seluruh margin keuntungan ditentukan oleh usaja besar bisnis platform mereka secara monopolistik.
Anehnya, sistem regulasi dan kebijakan program yang dilakukan pemerintah saat ini bukan diarahkan untuk dilakukan proses transformasi besar-besaran agar proses partisipasi ekonomi rakyat menjadi semakin kuat, namun terus-menerus melanggengkan program pembinaan. Gibran dengan bangga misalnya sebut model kebijakan paket input seperti perluasan akses kredit, subsidi, bantuan, program pendampingan, konsultasi, dan sebagainya yang telah terbukti gagal. Di mana seluruh program itu dalam praktiknya hanya menguntungkan para makelar program lebih besar ketimbang memberikan manfaat bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Sebut saja program akses kredit bagi ekonomi rakyat. Dari total alokasi kredit perbankan yang ada, untuk usaha skala mikro yang mendominasi pada 2021 nilainya ternyata hanya 3 persen dari total rasio kredit perbankan (BI, 2022). Di mana alokasi itu pun terealisasi dengan topangan subsidi bunga dan penjaminan kredit dari sumber alokasi APBN yang jumlahnya puluhan triliun rupiah setiap tahun dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Model kebijakan politik ekonomi pemerintah yang gagal melindungi kepentingan ekonomi rakyat banyak ini sepertinya oleh Cawapres Gibran akan terus dilanggengkan, bahkan dengan cara yang menghina dan merendahkan marrabat rakyat sebagai pemegang sah kedaulatan republik ini dengan ingin gelontorkan makan siang gratis.
Jakarta, 23 Desember 2023