Korupsi, Intoleransi, dan Radikalisme: Penyakit Kronis yang Mengikis Nasionalisme

Korupsi, Intoleransi, dan Radikalisme: Penyakit Kronis yang Mengikis Nasionalisme

_Oleh: Ticke Soekrani_

 

Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebagai pengingat akan pentingnya membangun kesadaran kolektif, semangat persatuan, dan komitmen kebangsaan. Namun di tengah semarak perayaan simbolik itu, kita dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa diabaikan: nasionalisme kita tengah diuji oleh tiga penyakit kronis—korupsi, intoleransi, dan radikalisme.

 

Korupsi telah menjadi luka dalam yang terus menggerogoti fondasi negara. Ia tidak hanya menghancurkan sistem hukum dan tatanan pemerintahan yang bersih, tetapi juga melahirkan ketidakadilan sosial, memperlebar kesenjangan, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Selama praktik korupsi dibiarkan tumbuh subur, cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya akan menjadi jargon kosong.

 

Di sisi lain, intoleransi dan radikalisme kian menguat dan menyusup ke ruang-ruang publik, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ideologi yang menolak perbedaan, menafikan kemajemukan, serta membungkus kekerasan dalam balutan keimanan telah mengancam persatuan yang menjadi kekuatan utama bangsa ini. Ketika keberagaman tak lagi dirayakan dan perbedaan dianggap ancaman, maka kebhinekaan yang menjadi identitas nasional akan tergerus perlahan.

 

Nasionalisme sejati tidak berhenti pada lagu kebangsaan, pengibaran bendera, atau simbol-simbol patriotik. Ia harus hadir dalam tindakan nyata: menolak segala bentuk korupsi, menjunjung tinggi integritas, merawat toleransi, serta memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Kebangkitan nasional bukanlah perayaan masa lalu, melainkan panggilan hari ini—untuk terus membangun bangsa dengan jiwa yang bersih, pikiran yang terbuka, dan tekad yang kuat.

 

Kita semua memiliki peran. Pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan, komunitas, dan individu—semuanya bertanggung jawab untuk menjadi bagian dari perubahan. Mari kita jadikan momen kebangkitan ini bukan hanya sebagai peringatan, tapi juga sebagai titik tolak untuk bertindak.

 

Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera tidak akan lahir dari seremonial belaka. Ia tumbuh dari kesadaran kolektif dan aksi nyata.

Array

Berita Terkait